Fatwa Ulama | Hukum Suami Meminta Hubungan Intim Setiap Hari
Fatwa Ulama | Hukum Suami Meminta Hubungan Intim Setiap Hari- - -Dunia Islam | Hubungan intim Jima' adalah hal yang wajar dilakukan oleh pasangan suami istri yang syah dalam hukum islam, oleh sebab itu sudah sewajarnya jika hubungan intim harus dilakukan oleh PASUTRI, namun apa hukum hubungan intim yang dilakkukan setiap hari ?
Sebelum Dunia Islam menelusuri pertanyaan diatas, Dunia islam sedikit menjelaskan tentang perbedaan bahasa Jima' - hubungan intim dengan Seks, Hubungan intim adalah hubungan badan yang dilakukan atas sama-sama suka dan dihalalkan dalam ajaran islam, karena bahasa berhungan intim lebih cocok digunakan kepada pasangan yang sudah menikah, namun Seks adalah hubungan badan yang dilakukan atas dasar sama-sama suka, namun yang membedakan adalah mereka melakukan seks bebas atau hubungan diluar nikah, So sudah pasti hal seperti itu diharamkan dalam islam.
Naaah, itulah penjelasan sedikti tentang seks dan hubungan intim versi Dunia Pendidikan, sekarang kita masuk lagi ketopik tentang pertanyaan Apa Hukum Suami Meminta Hubungan Badan Setiap Hari, apakah sebagai seorang istri wajib melayani suami yang meminta hubungan intim setiap hari, berikut penjelasanya. dikutip dari http://artikelmuslimah.com/
Tanggapan Dr. ‘Amr Abu Khalil:
Saudariku yang terhormat, apakah disebut hidup berumah-tangga dimana kondisi seorang istri menganggap upaya untuk memenuhi hasrat seksual suami sebagai “pengorbanan terbesar”? Kehidupan rumah-tangga seperti apakah bila hari-hari penuh dengan cacian dan ancaman dari pihak suami? Hari-hari apakah disaat yang bersamaan istri menganggap sikap suaminya sebagai bentuk penghinaan?
Jangan bersikap seperti itu Saudariku. Sesungguhnya masalah ini membutuhkan instropeksi bersama dari kedua pihak dan membutuhkan waktu untuk melakukan koreksi dan perenungan. Pertanyaan yang perlu dijawab dalam permasalahan ini cukup banyak. Ketahuilah, sesuatu yang Anda keluhkan itu justru menjadi sesuatu yang diharapkan wanita-wanita lain.
Ada faktor psikologis yang menyebabkan seorang suami memiliki tuntutan hasrat seksual yang begitu tinggi, sementara istrinya memiliki hasrat seksual yang lebih rendah. Jadi tidak perlu membandingkan dengan oranglain, dan tidak perlu harus ada ancaman.
Persoalan hasrat seksual adalah persoalan pribadi yang berbeda antara satu orang dengan orang yang lain. Tidak ada keistimewaan sedikitpun pada orang yang memiliki hasrat seksual setiap hari, dibandingan mereka yang hasratnya hanya muncul setiap pekan sekali atau sebulan. Tentunya selama hubungan seksualnya masih dalam batas-batas normal yang dikenal dimasyarakat. Perbedaan ini seharusnya menjadi suatu pendorong pasangan suami-istri untuk saling memahami, dan untuk saling memperhatikan kondisi psikologis pasangannya. Perbedaan ini harusnya menjadi ladang kebaikan untuk membangun kesepakatan, keserasian dan kedekatan. Bukan malah menjadi pemicu permusuhan. Ini poin pertama.
Poin yang kedua. Meskipun persoalan seks merupakan salah satu unsur pembentuk yang penting bagi kehidupan rumahtangga, tetapi masih banyak unsur-unsur pembentuk yang lainnya. Sebagai contoh, pergaulan yang baik atau mengemban tanggungjawab bersama merupakan ladang-ladang yang sangat luas bagi sepasang suami-istri untuk dapat saling memahami, meskipun salahsatu pihak memiliki kekurangan dalam masalah seksual. Dengan memperhatikan pergaulan yang baik, kekurangan yang ada pada pasangan pasti akan diterima. Artinya, Anda harus introspeksi diri terlebih dahulu dan mencurahkan segenap kemampuan untuk itu.
Apakah ada faktor-faktor tertentu yang menghalangi Anda untuk melayani suami Anda, sehingga Anda tidak dapat melakukan hubungan seksual? Apakah Anda mampu mengatasi sebagaian faktor tersebut atau bahkan sebagian besarnya? Jika Anda telah melakukan hal itu, kemudian suami Anda merasakan segenap jerih-payah yang telah Anda curahkan, maka dia pasti akan menghargai Anda. Jika semau upaya telah dilakukan, tetapi suami Anda tetap belum ridha, maka sebenarnya suami Anda tidak berhak untuk memberikan ancaman seperti itu (akan menikah lagi: ancaman poligami), karena sesungguhnya pernikahan kedua bukanlah sebuah ancaman, melainkan sebuah tanggungjawab baru.
Apakah suami dapat memahami ketentuan seperti ini, lalu dia siap untuk mengemban tanggungjawabnya dengan baik, dimana dia menyadari betul bahwa dari pernikahannya yang kedua dia tidak hanya akan mendapat kesenangan dan dapat memuaskan hasrat seksualnya, tetapi juga akan memperoleh sejumlah tanggungjawab baru? Apakah dia benar-benar siap untuk mengemban semua itu tanpa sedikit pun mengurangi hak salah seorang istrinya dan juga hak-hak anak-anaknya? Jika memang sanggup menanggung semua itu, maka bertawakallah kepada Allah tanpa harus ada gertakan atau ancaman.
Akan tetapi, Anda harus duduk bersama suami guna berbicara secara terus-terang dan berdialog, sehingga Anda berdua pun dapat saling memahami masalah yang terjadi secara rasional dan penuh tanggungjawab. Lalu Anda dapat menerangkan kepada suami tentang gambaran kehidupan yang akan Anda berdua jalani dan menggambarkan kepada suami tentang tanggungjawab yang harus diembannya. Jika suami memperlihatkan ketidak-mampuannya untuk mengemban semua tanggungjawab tersebut, maka Anda harus memberitahukan kepada suami bahwa Anda berdua harus berusaha mencari solusi yang tepat bagi kehidupan Anda berdua; dan hal ini lebih baik daripada Anda harus bertengkar, saling mencaci, ataupun saling mengancam.
Kesimpulannya adalah bahwa respon yang diberikan oleh suami baik berupa ancaman ataupun membanding-bandingkan istrinya dengan wanita lain, tidak dapat diterima. Demikian dengan respon yang diberikan oleh istri, yaitu dengan menyuruh suami untuk menikah lahi juga tidak dapat diterima. Dalam hal ini, harus ada kesadaran dan pengembanan tanggungjawab yang baik dari kedua belah pihak untuk menghasilkan kondisi yang lebih baik. Dialog dan saling memahami merupakan jalan satu-satunya untuk keluar dari masalah tersebut.
Semoga Allah memberi petunjuk dan kemampuan kepada Anda untuk mengambil keputusan yang tepat, da n semoga Allah juga menolong Anda untuk mengubah sikap Anda dan bermusyawarahlah dengan suami Anda hingga kalian berdua mendapatkan solusi yang tepat. Sesungguhnya hanya Allahlah Dzat yang mampu memberi taufik. (islamonline)
Sebelum Dunia Islam menelusuri pertanyaan diatas, Dunia islam sedikit menjelaskan tentang perbedaan bahasa Jima' - hubungan intim dengan Seks, Hubungan intim adalah hubungan badan yang dilakukan atas sama-sama suka dan dihalalkan dalam ajaran islam, karena bahasa berhungan intim lebih cocok digunakan kepada pasangan yang sudah menikah, namun Seks adalah hubungan badan yang dilakukan atas dasar sama-sama suka, namun yang membedakan adalah mereka melakukan seks bebas atau hubungan diluar nikah, So sudah pasti hal seperti itu diharamkan dalam islam.
Naaah, itulah penjelasan sedikti tentang seks dan hubungan intim versi Dunia Pendidikan, sekarang kita masuk lagi ketopik tentang pertanyaan Apa Hukum Suami Meminta Hubungan Badan Setiap Hari, apakah sebagai seorang istri wajib melayani suami yang meminta hubungan intim setiap hari, berikut penjelasanya. dikutip dari http://artikelmuslimah.com/
Tanggapan Dr. ‘Amr Abu Khalil:
Saudariku yang terhormat, apakah disebut hidup berumah-tangga dimana kondisi seorang istri menganggap upaya untuk memenuhi hasrat seksual suami sebagai “pengorbanan terbesar”? Kehidupan rumah-tangga seperti apakah bila hari-hari penuh dengan cacian dan ancaman dari pihak suami? Hari-hari apakah disaat yang bersamaan istri menganggap sikap suaminya sebagai bentuk penghinaan?
Jangan bersikap seperti itu Saudariku. Sesungguhnya masalah ini membutuhkan instropeksi bersama dari kedua pihak dan membutuhkan waktu untuk melakukan koreksi dan perenungan. Pertanyaan yang perlu dijawab dalam permasalahan ini cukup banyak. Ketahuilah, sesuatu yang Anda keluhkan itu justru menjadi sesuatu yang diharapkan wanita-wanita lain.
Ada faktor psikologis yang menyebabkan seorang suami memiliki tuntutan hasrat seksual yang begitu tinggi, sementara istrinya memiliki hasrat seksual yang lebih rendah. Jadi tidak perlu membandingkan dengan oranglain, dan tidak perlu harus ada ancaman.
Persoalan hasrat seksual adalah persoalan pribadi yang berbeda antara satu orang dengan orang yang lain. Tidak ada keistimewaan sedikitpun pada orang yang memiliki hasrat seksual setiap hari, dibandingan mereka yang hasratnya hanya muncul setiap pekan sekali atau sebulan. Tentunya selama hubungan seksualnya masih dalam batas-batas normal yang dikenal dimasyarakat. Perbedaan ini seharusnya menjadi suatu pendorong pasangan suami-istri untuk saling memahami, dan untuk saling memperhatikan kondisi psikologis pasangannya. Perbedaan ini harusnya menjadi ladang kebaikan untuk membangun kesepakatan, keserasian dan kedekatan. Bukan malah menjadi pemicu permusuhan. Ini poin pertama.
Poin yang kedua. Meskipun persoalan seks merupakan salah satu unsur pembentuk yang penting bagi kehidupan rumahtangga, tetapi masih banyak unsur-unsur pembentuk yang lainnya. Sebagai contoh, pergaulan yang baik atau mengemban tanggungjawab bersama merupakan ladang-ladang yang sangat luas bagi sepasang suami-istri untuk dapat saling memahami, meskipun salahsatu pihak memiliki kekurangan dalam masalah seksual. Dengan memperhatikan pergaulan yang baik, kekurangan yang ada pada pasangan pasti akan diterima. Artinya, Anda harus introspeksi diri terlebih dahulu dan mencurahkan segenap kemampuan untuk itu.
Apakah ada faktor-faktor tertentu yang menghalangi Anda untuk melayani suami Anda, sehingga Anda tidak dapat melakukan hubungan seksual? Apakah Anda mampu mengatasi sebagaian faktor tersebut atau bahkan sebagian besarnya? Jika Anda telah melakukan hal itu, kemudian suami Anda merasakan segenap jerih-payah yang telah Anda curahkan, maka dia pasti akan menghargai Anda. Jika semau upaya telah dilakukan, tetapi suami Anda tetap belum ridha, maka sebenarnya suami Anda tidak berhak untuk memberikan ancaman seperti itu (akan menikah lagi: ancaman poligami), karena sesungguhnya pernikahan kedua bukanlah sebuah ancaman, melainkan sebuah tanggungjawab baru.
Apakah suami dapat memahami ketentuan seperti ini, lalu dia siap untuk mengemban tanggungjawabnya dengan baik, dimana dia menyadari betul bahwa dari pernikahannya yang kedua dia tidak hanya akan mendapat kesenangan dan dapat memuaskan hasrat seksualnya, tetapi juga akan memperoleh sejumlah tanggungjawab baru? Apakah dia benar-benar siap untuk mengemban semua itu tanpa sedikit pun mengurangi hak salah seorang istrinya dan juga hak-hak anak-anaknya? Jika memang sanggup menanggung semua itu, maka bertawakallah kepada Allah tanpa harus ada gertakan atau ancaman.
Akan tetapi, Anda harus duduk bersama suami guna berbicara secara terus-terang dan berdialog, sehingga Anda berdua pun dapat saling memahami masalah yang terjadi secara rasional dan penuh tanggungjawab. Lalu Anda dapat menerangkan kepada suami tentang gambaran kehidupan yang akan Anda berdua jalani dan menggambarkan kepada suami tentang tanggungjawab yang harus diembannya. Jika suami memperlihatkan ketidak-mampuannya untuk mengemban semua tanggungjawab tersebut, maka Anda harus memberitahukan kepada suami bahwa Anda berdua harus berusaha mencari solusi yang tepat bagi kehidupan Anda berdua; dan hal ini lebih baik daripada Anda harus bertengkar, saling mencaci, ataupun saling mengancam.
Kesimpulannya adalah bahwa respon yang diberikan oleh suami baik berupa ancaman ataupun membanding-bandingkan istrinya dengan wanita lain, tidak dapat diterima. Demikian dengan respon yang diberikan oleh istri, yaitu dengan menyuruh suami untuk menikah lahi juga tidak dapat diterima. Dalam hal ini, harus ada kesadaran dan pengembanan tanggungjawab yang baik dari kedua belah pihak untuk menghasilkan kondisi yang lebih baik. Dialog dan saling memahami merupakan jalan satu-satunya untuk keluar dari masalah tersebut.
Semoga Allah memberi petunjuk dan kemampuan kepada Anda untuk mengambil keputusan yang tepat, da n semoga Allah juga menolong Anda untuk mengubah sikap Anda dan bermusyawarahlah dengan suami Anda hingga kalian berdua mendapatkan solusi yang tepat. Sesungguhnya hanya Allahlah Dzat yang mampu memberi taufik. (islamonline)